Ambarawa kota kenangan, kota tak'kan terlupakan
Silirnya angin di malam hari, meresap menuju jiwa
Ambarawa kota kenangan, kota tak'kan terlupakan
Kilau air Rawapening gemerlap, menyinari Ambarawa
Tetapi tak dapat kusesali, akhirnya kukembali
Aku tetap percaya padamu
Sengsara, nenek menjaga cucu
Dalam peristiwa '65
Tiap hari lari ke sana kemari
Luputkan diri dari bahaya
Siang malam, cucu memanggil-manggil
Bapakku ibuku ke mana?
Dengan perih, nenek menjawabnya
Bapak Ibumu di penjara.
Ambarawa kota kenangan, kota tak'kan terlupakan
Silirnya angin di malam hari, meresap menuju jiwa
Ambarawa kota kenangan, kota tak'kan terlupakan
Kilau air Rawapening gemerlap, menyinari Ambarawa
Tetapi tak dapat kusesali, akhirnya kukembali
Aku tetap percaya padamu
about
Sri Wahyuni, atau Bu Nik, merupakan salah satu ibu penyintas tragedi 1965 yang tinggal di Yogyakarta. Sri kecil tumbuh di awal kemerdekaan Indonesia, dan Sri muda menjadi penyanyi keroncong yang sering diundang tampil di Istana Negara sekitar tahun ‘60an. Ditangkap bulan September 1965 sepulang dari latihan karawitan, ia sempat berpindah sebagai tapol dari Jefferson Library, Benteng Vredeburg, Wirogunan, Ambarawa, hingga Bulu (Semarang).
Dari sanalah, ia menciptakan dua lagu yang ada dalam album ini: "Rawapening" dan "Cucuku". Nuansa kedua lagu ini cukup berbeda, dan barangkali diciptakan pada dua waktu yang berlainan. Sementara lagu "Cucuku" secara gamblang menggunakan kata-kata “enam-lima” dan “penjara”, lirik lagu "Rawapening" sepintas terdengar manis, meromantisasi keindahan Danau Rawapening yang tampak dari penjara Ambarawa.
"Ambarawa kota kenangan, kota takkan terlupakan.."
– lirik lagu Rawapening
Kita terlalu terbiasa mendengar kata ‘kenangan’ dalam lagu-lagu populer sebagai lembut kecup, hangat peluk, atau basah tangis. Kita sering lupa bahwa ‘kenangan’ pun mewakili pedas sambal, perih cerca, bahkan biru memar. Barangkali dalam menulis lagu ini, alam bawah sadar Bu Nik melakukan sensor atas kenangan-kenangan tersebut, betapapun lembut, hangat, basah, pedas, perih, dan birunya itu semua di Ambarawa.
“Dengan perih nenek menjawabnya, bapak ibumu di penjara.”
– lirik lagu Cucuku
Bu Nik tidak punya cucu. Keluarga yang ditinggalinya semasa hidup adalah cucu dari adiknya sendiri. Sekeluarnya dari penjara pada tahun 1971, rumahnya disita dan menjadi entah milik siapa, suaminya menghilang dan keluarganya pun entah ke mana. Sempat tidur di jalan, menjadi pembantu rumah tangga, berpindah ke beberapa kota dan juga sempat berjualan gorengan di jalan atas bantuan dari Gereja. Perjalanan panjang Bu Nik akhirnya diterima untuk tinggal di rumah cucu-keponakan tersebut, hingga akhir hayatnya. Di kampung mereka, Daengan, ia terkenal sebagai seorang nenek galak, tak sungkan melempar sandal ke arah orang yang membuatnya gusar.
“Saya merasa baik pada saat saya bekerja, jika saya tidak bekerja, pikiran saya melayang ke mana-mana.”
– dari buku Bertahan dalam Impunitas, terbitan AJAR dan Komnas Perempuan
Meski demikian, pada anak kecil, ia sayang sepenuhnya. Karena tak lagi boleh menyanyi dan tampil di publik, ia bekerja membuat dan menjual donat. Sedikitpun pemasukannya, sering ia jajankan roti atau permen untuk anak-anak kecil di sekitarnya. Saya duga, lagu “Cucuku” ditulis dari interaksinya dengan mereka, sambil membayangkan anak-anak dari beratus teman seperjuangannya saat masih di penjara.
–
Tanggal 19 September 2019, Bu Nik meninggal dunia atas usia tua yang menggerogoti tubuh dan semangat rentanya. Album ini diharapkan menjadi semacam catatan atas dua lagu pahit-manis yang ia ciptakan, yang selama berpuluh tahun tak boleh diperdengarkan melalui suaranya yang lama terbungkam. Kini kita cukup beruntung hidup di era yang membebaskan suara apapun untuk menggema di aula-aula hingga channel-channel video.
“Saya ya, sedapat mungkin, karena saya sendiri itu kepingin hidup. Tapi terutama, jiwa raga saya, saya serahkan kepada Tuhan. Ha, dengan adanya itu, jiwa saya itu, ya, gimana ya.. Bisa bangun gitu, lah. Ya, apa adanya, pokoknya, saya harus hidup. Saya harus hidup, saya harus bisa. Sampai di mana, akhir hayat saya.”
– dari video “In Defiance: Voices of Torture Survivors, Sri Wahyuni”, di channel Youtube ASIA AJAR
Semoga roh Bu Nik tetap bernafas dalam damai di sudut-sudut Spotify, Youtube, dan kerja kita semua yang cukup beruntung bisa mengetahui kisah hidupnya.
credits
released November 23, 2019
Diproduksi oleh Sbatu Recs
Semua lagu ditulis oleh Sri Wahyuni
Perekaman, mixing, dan mastering track 2 dan 3 oleh DS Studio
Ilustrasi muka oleh Lala Bohang
Seluruh karya menggunakan lisensi Creative Commons BY-NC-SA
The instrumental ensemble Dt/IG straddles the line between folk and classical, stirring acoustics augmented by sumptuous arrangements. Bandcamp New & Notable Oct 29, 2023
Buoyant songs that summon the spirit of New Orleans, with beautifully bleary brass, light up the latest from Annabelle Chvostek Bandcamp New & Notable Mar 27, 2021
Tender acoustic songs built on folk & guitar intermingle with field recordings from the small town of Blue Diamond, Nevada. Bandcamp New & Notable Mar 20, 2021
The Oakland singer's latest album imagines the power struggle between man and nature as a slow, steady tempest of dark folk. Bandcamp New & Notable Nov 20, 2019
The Alabama duo's fifth album exults in dusty Americana, showcasing rich vocal harmonies alongside blissful folk instrumentation. Bandcamp New & Notable Mar 31, 2024